Sulitnya Menjegal Pelaku Pelecehan Seksual

Bersinarpos.com - Setiap tahun kasus pelecehan seksual terus meningkat. Mari kita lihat Catatan Tahunan (CATAHU) di tahun 2020. Catahu yang rutin diadakan setiap tahunnya oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menunjukkan dalam 12 tahun terakhir, kekerasan seksual pada perempuan mengalami peningkatan sebanyak 792%. Sebuah angka yang sangat fantastik. Komnas Perempuan menduga masih banyak kasus yang belum terdata. Banyak kasus yang tenggelam dan tidak diketahui dengan jelas bagaimana penanganannya.


Di tahun 2019 saja terdapat 2.341 kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan yang di tahun sebelumnya berada di angka 1.417. Dengan kata lain peningkatan naik menjadi 8 kali lipat. Belum lagi kasus pelecehan seksual lewat jaring internet seperti ancaman penyebaran foto atau video korban mengandung unsur porno sebanyak 281. Naik 300% dibandingkan tahun 2018. Begitu juga dengan penyandang disabilitas yang kerap mendapatkan pelecehan seksual. Tahun ini penyandang disablitas 2019 pun mencapai 47%.


Korban mengalami trauma berkepanjangan bahkan hingga seumur hidup. Sedangkan pelaku pelecehan seksual seringkali lolos dan kebal oleh hukum. Indonesia memang sudah memiliki Undang-Undang yang menangani kasus serupa tapi tak sama yaitu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP).


KHUP dinilai masih abu-abu dan belum spesifik. Ini dilihat dari tidak adanya istilah pelecehan seksual di dalam KHUP dan hanya ada kata pencabulan saja. Pencabulan merupakan istilah lain dari perkosaan dan merupakan bagian dari kekerasan seksual. Bedanya, penggunaan kata ‘pencabulan’ dilakukan hanya sampai penetrasi saja dan belum sampai ke tahap pemaksaan dalam berhubungan intim.


Begitu juga dengan pelecehan seksual yang juga merupakan bagian dari kekerasan seksual. Namun memiliki pengertian yang berbeda. Dalam Catahu 2020, pelecehan seksual, merupakan tindakan seksual yang bisa berupa sentuhan dan non fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Setidaknya ada 15 bentuk kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan.


Yaitu pemerkosaan (pencabulan), intimidasi seksual, pelecehan seksual, eskploitasi seksual, perdagangan perempuan, prostitusi paksa, pemaksaan pernikahan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, penghukuman bernuansa seksual, praktik tradisi yang bernuansa pemaksaan seksual dan diskriminasi perempuan dan terakhir, kontrol seksual.


Bentuk dari pelecehan seksual sendiri bisa dalam bentuk siulan, tatapan mata, ucapan yang bernuansa seksual, colekan hingga isyarat yang bersifat seksual. Prilaku ini berdampak hilangnya harga diri, rasa tidak nyaman, menganggu aktivitas hingga mengancam keselamatan.


Sudah ruang lingkupnya terbatas, penindakan pelaku pelecehan seksual jika berdasarkan pada KHUP juga tidak berjalan dengan mulus. Hal ini disebabkan karena korban tersandung pada pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dimana korban harus menghadirkan 5 macam bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Kasus tidak akan ditangani jika kelima bukti itu tidak dapat dihadirkan.


Hampir sebagian besar pelecehan seksual merupakan jenis kriminal yang sulit untuk untuk dideteksi untuk dibawa ke ranah hukum. Berbeda dengan kekerasan seksual lain seperti pencabulan atau pemerkosaan yang bisa melakukan pemeriksaan fisik dan visum.

Permasalahan utama yang sering dihadapi oleh korban pelecehan seksual adalah tidak adanya barang bukti. Jika kasus pemerkosaan mungkin bisa saja melakukan pemeriksaan medis atau visum. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) juga bisa dilihat dari luka lebam atau bekas kekerasan. Tapi semua akan menjadi rumit jika bentuknya sekadar pemaksaan fisik dan audiovisual yang tidak meninggalkan jejak.


Pelecehan seksual biasanya terjadi secara accidental dan tidak dapat diprediksi kapan waktu terjadi. Sehingga korban tidak dapat membuat persiapan untuk menyediakan barang bukti. Sebut saja kasus yang akhir-akhir ini sering terjadi yaitu ‘begal payudara’ yang terjadi belakangan. Pelaku terlampau syok untuk mendokumentasikan kejadian. Tak ada bukti, korban jadi ragu untuk melapor dan pelaku sulit untuk ditangkap.


Belum lagi cat calling yang sebagian masyarakat belum tahu jika itu merupakan bagian dari pelecehan seksual non fisik. Di sekitar kampus pinggiran Jakarta juga ada laki-laki yang memperlihatkan alat kelamin kepada seorang mahasiswi. Beruntung ada saksi sehingga kasus bisa langsung ditangani pihak berwajib.


Hukum yang belum terbentuk secara paripurna membuat susah menjegal pelaku untuk ditangkap. Karenanya dalam beberapa tahun terakhir lembaga dan aktivis perempuan mendorong pemerintah untuk memperbaiki Undang-Undang yang ada. Komnas Perempuan sudah membuat rancangannya.


Mungkin sebagian besar di antara kita pernah mendengar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Nah, RUU inilah yang dirancang oleh Komnas Perempuan. Di dalamnya memuat segala bentuk defenisi bentuk-bentuk kekerasan seksual. Jika RUU ini disahkan, korban dapat melaporkan kasus mereka ke ranah hukum tanpa kendala dan pelaku tidak lagi kebal.


Selain memberikan dukungan secara hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban, RUU ini juga menyediakan fasilitas pemulihan psikis. Pelaku juga diarahkan untuk mendapatkan rehabilitas sehingga meminimalisir pengulangan tindak pelecehan seksual. Sayangnya RUU PKS mengalami kendala pengesahan karena dianggap didomplengi oleh berbagai kepentingan yang menganggu moralitas. Padahal jika diulas atau dikaji ulang, konteks RUU PKS tidak berpotensi tumpang tindih dengan aturan lain.


Sampai RUU ini rampung, tidak ada salahnya untuk membekali diri dimulai dari pribadi masing-masing. Di antaranya mungkin dengan memahami apa-apa saja bentuk pelecehan seksual dan bagaimana mengantisipasinya. Mulai membangun kesadaran publik jika semua orang berpotensi menjadi korban. Dan semua orang berpotensi menjadi pelaku. Sehingga kita bisa mawas diri untuk berupaya melakukan pencegahan.



Sumber: komnasperempuan.go.id


Posting Komentar

0 Komentar