Bersinarpos.com – Banyak tanggapan yang muncul setelah di keluarkan infromasi terkait sertifikat ulama. Tanggapan masyarakat pun bermacam-macam, ada yang pro dengan sertifikat ulama ada juga yang kontra.
Tanggapan yang datang dari Zainut Tauhid Saadi yang menjabat sebagai Wakil Menteri Agama Republik Indonesia sekaligus sebagai pengurus Majelis Ulama Indonesia. Zainut mengatakan bahwa sertifikat ulama tersebut bersifat sukarela, tidak ada paksaan.
“Ini sifatnya voluntary, sukarela… Tidak kemudian diartikan yang tidak mengikuti sertifikasi ini tidak boleh ceramah,” tutur Zainut pada, sebagaimana dikutip Semarangku dari Antara News.
Sertifikat yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas dai. Serta pembekalan bagi dai dalam mengemban tugas dan kewajibannya.
“Dua hal ini yang sesungguhnya menjadi tujuan dari program dai bersertifikat,” katanya.
Pembekalan tersebut berupa ilmu psikologi massa, public speaking, dan metode ceramah sesuai perkembangan zaman dan pemahaman Islam moderat berwawasan kebangsaan.
“Dalam pelaksanaan program tersebut Kemenag bekerja sama dengan majelis dan ormas keagamaan, seperti MUI, PGI, KWI, Walub/Permabudhi, Matakin, NU, Muhammadiyah, dan ormas keagamaan lainnya,” tambahnya.
Latar belakang peluncuran program ini karena ada tiga poin penting. Dengan adanya program sertifikat ulama, bertujuan untuk menjaga keselarasan beragama dan berbangsa.
“Pertama paham yang menistakan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, padam yang mengingkari nilai-nilai kesepakatan nasional misalnya Pancasila, UUD Tahun 1945 NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika,” tuturnya.
Dan poin terakhir adalah adanya paham yang menolak kebenaran dari paham yang dimiliki orang lain. yang hanya menganggap kelompoknya paling benar sementara orang lain sesat atau kafir.
“Jadi setiap dai dan penceramah agama harus terbebas dari unsur paham radikal tersebut karena dapat mengancam eksistensi Pancasila, NKRI, dan kesatuan bangsa,” katan Zainut.
Zainut juga mengatakan bahwa MUI memiliki jaringan yang luas, mulai dari pusat hingga daerah. Hal tersebut memudahkan para dai untuk memproses sertifikatnya.
“Tentu berdasarkan zona wilayah, panduannya dari pusat. MUI juga bekerja sama dengan ormas Islam yang juga mengerjakan hal yang sama. Fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan),” tambahnya.
Pendapat lain keluar dari K.H. Muhyiddin Junaidi yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Beliau malah menolak program sertifikat ulama tersebut.
“MUI menolak rencana program tersebut,” tutur Muhyiddin pada Selasa, 08 September 2020 di Jakarta.
Penolakan tersebut dengan alasan dikhawatirkan adanya intervensi pemerintah dalam pelaksanaan program.
“Dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam dan berpotensi disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat mengendalikan kehidupan keagamaan,” katanya.
Memang MUI memahami betapa pentingnya program peningkatan kometensi ulama sebagai upaya peningkatan wawasan materi dakwah. Terutama materi keagamaan seperti ekonomi syariah, bahan produk halal, wawasan kebangsaan, dan lain sebagainya.
Namun program tersebut di serahkan sepenuhnya kepada ormas atau lembaga Islam termasuk MUI dan pihak-pihak yang memiliki otoritas sertifikat dai. Seperti itulah keputusan MUI yang sesuai dengan Rapat Pimpinan MUI yang digelar pada Selasa.
“Untuk itu, MUI mengimbau kepaa semua pihak agar tidak mudah mengaitkan masalah radikalisme dengan ulama, dai/muballigh dan hafizh sertaa tampilan fisik mereka. Termasuk yang lantang menyuarakan amar makruf nahi munkar bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara,” tambahnya.***
Sumber Semarangku.com
0 Komentar