Bersinarpos.com--KABUL, - Tersimpan dalam kantong plastik di sebuah ruangan kecil di pedesaan Afghanistan selatan, setumpuk kristal putih tampak berkilau. Benda yang menyerupai kristal putih itu adalah metamfetamin alias sabu "kualitas ekspor". Zat yang tergolong narkotika itu akan diperdagangkan ke berbagai negara, termasuk yang terbentang jauh dari Afghanistan seperti Australia. Sesampainya di Australia, sabu seberat 100 kilogram akan dihargai dengan nominal sebesar 2,6 juta dollar AS (sekitar Rp 37,2 miliar).
Di luar tempat penyimpanan itu, asap terlihat mengepul dari dua tong. Sabu tengah diracik dalam wadah tersebut. Narkotika adalah bisnis besar di Afghanistan. Di bawah kekuasaan Taliban, perdagangan narkotika berkembang pesat. Negara ini sejak lama dikaitkan dengan heroin, tapi dalam beberapa tahun terakhir, Afghanistan juga dikenal sebagai produsen besar sabu--obat adiktif berbahaya lainnya.
Seperti di kutif KOMPAS.com Seorang sumber yang terlibat dalam perdagangan narkotika di Afghanistan berkata, sekitar 3.000 kilogram sabu sekarang diproduksi di lebih dari 500 "pabrik darurat" setiap hari. Tempat produksi itu berada di sebuah distrik terpencil di barat daya Afghanistan. Distrik itu dikenal sebagai wilayah penghasil narkotika.
Munculnya produksi sabu dipicu temuan bahwa ephedra dapat digunakan untuk membuat salah satu bahan utama obat ini, yaitu efedrin. Ephedra sendiri merupakan ramuan liar yang dikenal warga lokal sebagai oman. Sebuah tempat jual-beli yang terletak jauh di dalam gurun berfungsi sebagai pusat perdagangan sabu Afghanistan. Sumber itu berkata, terdapat gundukan besar sabu yang dijual di pasar itu. Dia tidak pernah melihat penjualan dalam skala sebesar itu sebelumnya.
Taliban sebelum ini diketahui mengenakan pajak atas ephedra. Namun baru-baru ini, mereka melarang orang-orang menanamnya. Regulasi itu tidak dipublikasikan secara luas.
Meski begitu, saat ini Taliban masih mengizinkan pabrik sabu untuk beroperasi. Seorang warga Afghanistan yang terlibat dalam perdagangan narkotik ini berkata kepada BBC dengan senyum lebar bahwa larangan ephedra hanya menyebabkan harga grosir sabu berlipat ganda dalam semalam.
Pada saat yang sama, kata dia, masih terdapat gudang yang penuh dengan persediaan bahan baku untuk produksi sabu pada masa depan. David Mansfield adalah pakar perdagangan narkotik Afghanistan terkemuka. Dia melacak pertumbuhan produksi sabu dengan melacak citra satelit untuk mengidentifikasi pabrik yang terlibat dalam proses tersebut. Mansfield mengatakan, larangan ephedra muncul pada saat panen produksi sabu telah dikumpulkan. "Jadi dampak sebenarnya tidak akan terasa sampai Juli tahun depan pada jadwal panen ephedra berikutnya," ujar Mansfield.
Mansfield yakin jumlah sabu yang diproduksi di Afghanistan bisa melebihi pembuatan heroin di negara itu. Hasil panen ladang opium Afganistan diperkirakan memasok 80 persen kebutuhan dunia. Hasil dari ladang di negara itu tampaknya juga sedang melonjak. Dalam beberapa pekan terakhir, para petani di seluruh Afghanistan sibuk mempersiapkan ladang mereka dan menanam benih opium. "Kami tahu itu berbahaya," kata Mohammad Ghani, sambil menyapu tanah di luar kota Kandahar. "Namun tidak ada tanaman lain yang menghasilkan uang," tuturnya.
Ekonomi Afghanistan runtuh setelah komunitas internasional menarik dukungan mereka akibat pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban tahun ini. Dalam situasi itu, opium tampaknya merupakan pilihan paling aman bagi banyak petani. Penurunan permukaan air dan kekeringan menyisakan sedikit pilihan bagi mereka. "Kami harus mengebor sumur, dan jika kami menanam okra atau tomat, kami bahkan tidak akan menghasilkan setengah dari biaya sumur kami," kata Ghani.
Spekulasi bahwa Taliban pada akhirnya mungkin melarang penanaman opium menyebabkan kenaikan harga. Pada satu titik, kebijakan itu, menurut petani, mendorong mereka untuk menanam lebih banyak opium.
Untuk saat ini, perdagangan opium sedang berkembang. Pengedar opium, yang dulunya membayar pejabat pemerintah yang korup dan menjual kantong-kantong pasta hitam kental secara rahasia, kini bebas mendirikan kios di pasar.
"Sejak Taliban berkuasa, kami menjadi benar-benar bebas," kata seorang pedagang opium grosir sambil tersenyum. Bagaimanapun, Taliban masih bersikap sensitif terhadap isu ini. Di Provinsi Helmand, mereka mencegah BBC merekam aktivitas jual-beli opium di salah satu pasar besar dan terkenal. Pejabat Taliban setempat menyebut wilayah itu sebagai "daerah terlarang".
Tim BBC berupaya mengonfirmasi apakah larangan liputan itu dipicu dugaan bahwa pimpinan Taliban mengambil untung dari perdagangan opium tersebut. Namun Hafiz Rashid, Kepala Komisi Budaya Provinsi Helmand, tiba-tiba mengakhiri wawancara. Dia mengancam akan menghancurkan kamera BBC jika rekaman yang telah diambil tidak dihapus.
Di Kandahar, provinsi di sebelah Helmand, BBC awalnya mendapat izin untuk merekam aktivitas jual-beli opium. Namun saat BBC datang ke pasar itu, pejabat setempat menyebut kegiatan pers itu tidak dapat dilakukan di sana. Bilal Karimi, Juru Bicara Taliban di Kabul, berkata kepada BBC bahwa mereka "berusaha mencari alternatif" bagi para petani. "Kami tidak bisa melarang bisnis opium tanpa menawarkan sesuatu yang lain kepada mereka," ujarnya.
Tak lama setelah menguasai Afghanistan, Taliban akhirnya melarang opium. Namun sebelumnya pajak di atas opium menjadi sumber pendapatan mereka, meski mereka selalu membantahnya. Beberapa pedagang opium berkata, Taliban sebenarnya dapat secara efektif memberlakukan larangan opium. Walau begitu, banyak pedagang skeptis pada opsi itu.
"Taliban telah mencapai apa yang mereka miliki berkat opium," kata seorang petani dengan nada marah. "Tak satu pun dari kami akan membiarkan Taliban melarang opium kecuali komunitas internasional membantu rakyat Afghanistan. Kalau tidak, kami akan kelaparan dan tidak akan bisa menafkahi keluarga," ujarnya. Mansfield berkata, kenaikan harga bahan pangan dan produk pertanian akibat krisis ekonomi akan membuat petani dan pemilik pabrik sabu meningkatkan volume perdagangan. Menurutnya, pilihan itu akan mereka lakukan hanya untuk mempertahankan pendapatan.
Di beberapa wilayah Afghanistan, industri narkotika sangat memengaruhi perekonomian lokal. Gandum Rez, sebuah desa terpencil di Helmand, hanya dapat dicapai melalui jalur berkerikil. Namun daerah itu berada di peta perdagangan heroin global.
Selain sejumlah besar kios pasar yang dikhususkan untuk penjualan opium, desa ini juga lokasi beberapa pabrik, yang masing-masing mempekerjakan 60-70 orang. Pabrik-pabrik itu mengolahnya opium menjadi heroin. Narkotika itu lalu diselundupkan ke Pakistan dan Iran, kemudian terus bergerak ke seluruh dunia, termasuk Eropa. Menurut salah satu sumber lokal, satu kilogram heroin untuk ekspor dijual dengan harga sekitar 210.000 rupee Pakistan (sekitar Rp 17 juta).
Seorang mantan pengedar narkotika di Inggris berkata kepada BBC, pada saat satu kilogram heroin itu mencapai Inggris harganya akan melonjak menjadi sekitar Rp 1,2 miliar. Sebagian besar keuntungan dari penjualan itu didapatkan kelompok mereka berada di rantai distribusi internasional. Meski begitu Taliban tetap memungut pajak pada produsen. Menurut Mansfield, keuntungan yang diperoleh Taliban dari narkotika sering dilebih-lebihkan dan tidak signifikan dibandingkan sumber pendapatan lainnya.
Mansfield memperkirakan bahwa pada tahun 2020, Taliban menerima sekitar 35 juta dollar AS (Rp 502 miliar) dari pajak produksi obat. "Pertama kali Taliban berkuasa, mereka butuh enam tahun sebelum mereka benar-benar memberlakukan larangan obat-obatan dan itu tidak berlaku pada opium pada saat itu," katanya. Merujuk situasi ekonomi Afghanistan saat ini, menurut Mansfield, larangan opium akan dianggap sebagai hukuman bagi kelompok yang selama ini membantu dan mendukung Taliban.
Juru bicara Taliban, Bilal Karimi, berkata kepada BBC bahwa pemberantasan produksi narkotika akan berdampak positif bagi Afghanistan dan masyarakat internasional. "Jadi dunia juga harus turut membantu upaya ini," ujarnya. Perdagangan narkotika di Afganistan tidak hanya berkisar pada tujuan ekspor. Narkotika juga berdampak negatif pada penduduk Afghanistan, terutama jika mengacu tingkat kecanduan yang tinggi. Di sisi jalan yang sibuk di pinggiran ibu kota Kabul, beberapa ratus pria berkerumun dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka merokok sabu dan heroin.
"Sekarang obat-obatan itu dibuat di Afghanistan sehingga harganya jauh lebih murah dibandingkan saat harus impor dari Iran," kata seorang laki-laki. "Satu gram sabu dulu dijual seharga 1.500 Afghani (Rp 215.000), sekarang menjadi 30 hingga 40 Afghani (sekitar Rp 40.000)," tuturnya. Kondisinya jorok, dengan beberapa tinggal di dalam selokan. "Bahkan seekor anjing pun tidak akan hidup seperti kami di sini," kata laki-laki yang lain.
Taliban sering secara kasar mengumpulkan dan membawa mereka ke pusat rehabilitasi obat-obatan yang kekurangan sumber daya. Namun para pecandu itu akhirnya kerap kembali lokasi ini. Di tengah wacana larangan Taliban terhadap opium, tampaknya narkotika masih akan dijual di jalanan di Afghanistan maupun di negara lainnya. Sumber Kompas.co.
0 Komentar