Refleksi Milad Ke-58 Kabupaten Indragiri Hilir : Krisis Iklim Perparah Tingkat Kemiskinan

  




TEMBILAHAN - Kabupaten Indragiri Hilir Genap berusia 58 Tahun pada 14 Juni 2023, Kabupaten Indragiri Hilir secara resmi memisahkan diri dari Kab.Indragiri hulu berdasarkan Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1965 Lembaran Negara Republik Indonesia No. 49 yang dikeluarkan pada tanggal 14 Juni 1965 dan mejadi kabupaten baru di Propinsi Ria Selasa (13/06)

 

Kabupaten Indragiri Hilir tercatat sebagai kabupaten terluas kedua di Riau setelah Kab.Pelalawan dengan luas yang mencapai 12.614.78 Kilometer Persegi. Kabupaten yang dikenal dengan negeri seribut parit ini adalah kabupaten penghasil kelapa terbesar di Riau bahkan di yakini terluas di Indonesia sehingga Pemerintahan Bupati 2 Priode HM. Wardan mempopulerkan dengan istilah Negeri Hamparan Kelapa Dunia.

 


Daerah penghasil kelapa terbesar ini kini sedang tidak baik baik saja, perubahan iklim telah menyebabkan sejumlah persoalan, mulai dari matinya ribuan hektar kelapa rakyat, rusaknya ekosistem mangrove, berkurangnya hasil tangkap nelayan,dan sejumlah masalah yang lain yang saling terkait yang bermuara semakin lebarnya angka kemiskinan.

 

Zainal Arifin Hussein Direktur BDPN anggota Jikalahari,  Selasa (13/6/2023) dalam siaran persnya menyampaikan seharusnya pemerintah menajdikan momentum ini untun melakukan intropeksi dan evaluasi.

 


“Milad akan baik baik bila pemerintah baik pusat,propinsi maupun kabupaten dapat menjadikan ini sebagai momentum untuk melakukan intropeksi dan evaluasi sejauh mana arah kebijakan pembagunan, apakah sudah Pasal 33  ayat 3 “bumi dan air dan kekayaan alam yan terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar - besarnya untuk kemakmuran rakyat” atau sebaliknya akan mendatang mudharat berupa kehancuran lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat”

 

Zainal mengatakan bahwa perubahan iklim telah menjadi isu yang paling mendesak yang dihadapi dunia saat ini, menginggat potensi dampak yang sangat besar untuk menganggu kehidupan manusia. Berbagai negara bahkan indonesia telah merasakan dampak dari perubahan iklim tak terkecuali Kabupaten Indragiri Hilir.

 

Perubahan Iklim Global telah memicu kenaikan suhu muka air laut, dan kenaikan permukaan air laut yang disebabkan peningkatan gelombang laut, dengan dampak yang sangat buruk bagi ekosistem pesisir dan masyarakat Indragiri hilir yang hidupnya tergantung pada jasa lingkungan hidup. Dan bagi masyarakat pesisir Kabupaten Indragiri Hilir dampak perubahan iklim adalah sebuah kenyataan, dimana intrusi airlaut telah mengancam kehidupan dan penghidupan mereka. Pemetaan awal yang dilakukan EcoNusantara, berdasarkan citra landsat yang tersedia, mengidentifikasi luas perkebunan kelapa hanya sekitar 75.659 ha. Dari luasan tersebut baru 6.810,01 ha (9,00%) yang belum terkena dampak intrusi air laut, sedangkan sisanya (hampir 91%) sudah terkena dampak, dimana 13.958,81 ha (18,45%) rusak, dan sisanya 54.890,76 ha (72,55%). ) sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan pada tanaman kelapa.

 

Kebun kelapa yang rusak (13.958,81 ha) telah digunakan untuk menghidupi 814 petani (5.647 orang), yang menghasilkan sekitar 16.695 ton kelapa (dengan produksi referensi 1.196 kg/ha), dan pendapatan yang hilang bisa mencapai Rp. 23.373.608.581 (dengan harga acuan Rp 1.400 per kg kelapa). Perkebunan kelapa yang terkena dampak saat ini (54.890,76 ha) mungkin masih mendukung mata pencaharian sekitar 9.000 petani (61.555 orang) dengan perkiraan produksi 65.650 ton kelapa.

 

Singkat cerita, intrusi air laut yang dipicu oleh perubahan iklim telah merusak areal perkebunan kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir dan meningkatkan kemiskinan masyarakat pesisir, yang mulai mengarah pada pengrusakan ekositem mangrove yang tersisa yang pada akhirnya akan memperparah kerusakan lingkungan.

 

Jika masalah ini tidak diselesaikan, sejumlah target SDG dan Zero Emission tidak akan tercapai. Salah satu target yang terlihat dari SDGs adalah menurunkan tingkat kemiskinan masyarakat, dan target ini tidak akan tercapai jika tidak dilakukan tindakan strategis.

 

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK melalui kebijakan NDC, kemudian diikuti dengan kebijakan Folu Net Sink 2030 sebagai langkah implementasinya. Sayangnya, kebijakan tersebut mengabaikan kondisi terkini di lapangan, yang mungkin kebijakan tersebut belum menyentuh aspek teknis di lapangan.

 

Dan yang terkini di moment memeriahkan Milad ke - 58 Kabupaten Indrgairi Hilir masyarakat di hebohkan dengan berdirinya Industri kayu bakar yang keberadaannya dinilai memicu kerusakan ekosistem mangrove yang lebih parah. Keberadaan industri kayu bakar ini di nilai mencederai upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Oleh karena itu pemerintah pusat melalui KLHK harus segera mengevaluasi regulasi dan mengupayakan berbagai regulasi dan tindakan menyelamatkan tutupan hutan mangrove yang tersisa.(***)

 

Posting Komentar

0 Komentar